Sejarah Belitung dan Berakhirnya Kerajaan Islam di Belitung
SEJARAH BELITUNG DAN BERAKHIRNYA KERAJAAN ISLAM DI BELITUNG
Oleh
Oleh
Al Fitri Johar Chaniago, S.Ag., SH., M.HI
(Hakim Pratama Madya Pengadilan Agama Tanjungpandan)
1. Gambaran Singkat Belitung.[1]
Belitung, atau Belitong (bahasa setempat, diambil dari nama sejenis siput laut), dulunya dikenal sebagai Billiton adalah sebuah pulau di lepas pantai timur Sumatra, Indonesia, diapit oleh Selat Gaspar dan Selat Karimata. Pulau ini terkenal dengan lada putih (Piper sp.) yang dalam bahasa setempat disebut sahang, dan bahan tambang tipe galian-C seperti timah putih (Stannuum), pasir kuarsa, tanah liat putih (kaolin), dan granit. Serta akhir-akhir ini menjadi tujuan wisata alam alternatif. Pulau ini dahulu dimiliki Britania Raya (1812), sebelum akhirnya ditukar kepada Belanda, bersama-sama Bengkulu, dengan Singapura dan New Amsterdam (sekarang bagian kota New York). Kota utamanya adalah Tanjung Pandan.
Pulau Belitung terbagi menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung, beribukota di Tanjung Pandan, dan Belitung Timur, beribukota Manggar.Sebagaian besar penduduknya, terutama yang tinggal di kawasan pesisir pantai, sangat akrab dengan kehidupan bahari yang kaya
dengan hasil ikan laut. Berbagai olahan makanan yang berbahan ikan
menjadi makanan sehari-hari penduduknya. Kekayaan laut menjadi salah
satu sumber mata pencaharian penduduk Belitung. Sumber daya alam yang
tak kalah penting bagi kehidupan masyarakat Belitung adalah timah. Usaha
pertambangan timah sudah dimulai sejak zaman Hindia Belanda.Penduduk Pulau Belitung terutama adalah suku Melayu (bertutur dengan dialek Belitung) dan keturunan Tionghoa Hokkien dan Hakka.
Secara
geografis pulau Belitung (Melayu ; Belitong) terletak pada 107°31,5' -
108°18' Bujur Timur dan 2°31,5'-3°6,5' Lintang Selatan. Secara
keseluruhan luas pulau Belitung mencapai 4.800 km² atau 480.010 ha.Pulau
Belitung disebelah utara dibatasi oleh Laut Cina Selatan, sebelah timur
berbatasan dengan selat Karimata, sebelah selatan berbatasan dengan
Laut Jawa dan sebelah barat berbatasan dengan selat Gaspar. Di sekitar pulau ini terdapat pulau-pulau kecil seperti Pulau Mendanau, Kalimambang, Gresik, Seliu dan lain-lain.
2. Sejarah Belitung
Peta Pulau Belitung
Kerajaan kedua adalah Kerajaan Balok. Raja pertamanya berasal dari keturunan bangsawaan Jawa dari Kerajaan Mataram Islam
bernama Kiai Agus Masud atau Kiai Agus Gedeh Ja'kub, yang bergelar
Depati Cakraningrat I dan memerintah dari tahun 1618-1661. Selanjutnya
pemerintahan dijalankan oleh Kiai Agus Mending atau Depati Cakraningrat
II (1661-1696), yang memindahkan pusat kerajaan dari Balok Lama ke suatu
daerah yang kemudian dikenal dengan nama Balok Baru. Selanjutnya
pemerintahan dipegang oleh Kiai Agus Gending yang bergelar Depati
Cakraningrat III. Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat III ini,
Belitung dibagi menjadi 4 Ngabehi, yaitu :
1. Ngabehi Badau dengan gelar Ngabehi Tanah Juda atau Singa Juda;
2. Ngabehi Sijuk dengan gelar Ngabehi Mangsa Juda atau Krama Juda;
3. Ngabehi Buding dengan gelar Ngabehi Istana Juda.
Masing-masing Ngabehi ini pada akhirnya
menurunkan raja-raja yang seterusnya lepas dari Kerajaan Balok. Pada
tahun 1700 Depati Cakraningrat III wafat lalu digantikan oleh Kiai Agus
Bustam (Depati Cakraningrat IV). Pada masa pemerintahan Depati
Cakraningrat IV ini, agama Islam mulai tersebar di Pulau Belitung. Gelar
Depati Cakraningrat hanya dipakai sampai dengan raja Balok yang ke-9,
yaitu Kiai Agus Mohammad Saleh (bergelar Depati Cakraningrat IX), karena
pada tahun 1873 gelar tersebut dihapus oleh Pemerintah Belanda.
Keturunan raja Balok selanjutnya yaitu Kiai Agus Endek (memerintah
1879-1890) berpangkat sebagai Kepala Distrik Belitung dan berkedudukan
di Tanjungpandan. Kerajaan ketiga adalah Kerajaan Belantu, yang
merupakan bagian wilayah Ngabehi Kerajaan Balok. Rajanya yang pertama
adalah Datuk Ahmad (1705-1741), yang bergelar Datuk Mempawah. Sedangkan
rajanya yang terakhir bernama KA. Umar. Kerajaan keempat atau yang
terakhir yang pernah berdiri adalah Kerajaan Buding, yang merupakan
bagian dari wilayah Kerajaan Balok. Rajanya bernama Datuk Kemiring Wali
Raib. Dari keempat kerajaan yang telah disebutkan diatas, Kerajaan Balok
merupakan kerajaan terbesar yang pernah ada di Pulau Belitung.
a. Masa Pendudukan Belanda dan Jepang.
Pertambangan tungsten dan timah
yang dikelola Perusahaan Billiton Maatschapij di Belitung (1942). Pada
abad ke-17, Pulau Belitung menjadi jalur perdagangan dan tempat
persinggahan kaum pedagang. Dari sekian banyak pedagang, yang paling
berpengaruh adalah pedagang Cina dan Arab. Hal ini dapat dibuktikan dari tembikar-tembikar
yang berasal dari Wangsa Ming abad ke-14 hingga ke-17, yang banyak
ditemukan dalam lapisan-lapisan tambang timah di daerah Kepenai, Buding,
dan Kelapa Kampit.
Berdasarkan catatan dari sejarawan Cina bernama Fei Hsin (1436).
Sedangkan orang Cina mengenal Belitung disebabkan pada tahun 1293,
pedagang-pedagang Cina tersebut masuk ke Pulau Belitung sekitar tahun
1293. Sebuah armada Cina
dibawah pimpinan Shi Pi, Ike Mise dan Khau Hsing yang sedang mengadakan
perjalanan ke Pulau Jawa terdampar di perairan Belitung.
Selain bangsa Cina,
bangsa lain yang banyak mengenal Pulau Belitung adalah bangsa Belanda.
Pada tahun 1668, sebuah kapal Belanda bernama 'Zon De Zan Loper',
dibawah pimpinan Jan De Marde, tiba di Belitung. Mereka merapat di
sungai Balok, yang saat itu merupakan satu-satunya bandar di Pulau
Belitung yang ramai dikunjungi pedagang asing. Berdasarkan penyerahan
Tuntang pada tanggal 18 September 1821, Pulau Belitung masuk dalam
wilayah kekuasaan Inggris
(meskipun secara de facto terjadi pada tanggal 20 Mei 1812). Residen
Inggris di Bangka, mengangkat seorang raja siak untuk memerintah
Belitung karena di pulau kecil ini sering terjadi perlawanan rakyat yang
dipimpin oleh tetua adat. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan
Komisaris Jenderal Kerajaan Inggris tanggal 17 April 1817, Inggris
menyerahkan Belitung kepada Kerajaan Belanda. Selanjutnya atas nama
Baginda Ratu Belanda, ditunjuk seorang Asisten Residen untuk menjalankan
pemerintahan di Pulau Belitung.
Pada tahun 1823, seorang Kapten berkebangsaan Belgia bernama JP. De La Motte,
yang menjabat sebagai Asisten Residen dan juga pimpinan tentara
Kerajaan Belanda, berhasil menemukan timah di pulau tersebut.
Selanjutnya seusai Traktat London
tahun 1850, penambangannya diambil alih oleh Billiton Maatschapij,
sebuah perusahaan penambangan timah milik Pemerintah Belanda. Pada saat
itu Belitung terbagi atas 6 daerah, yaitu :
Pada
tahun 1890, pangkat Ngabehi dihapus dan digantikan dengan Kepala
Distrik. Selanjutnya terdapat 5 distrik yaitu : Tanjungpandaan, Manggar,
Buding, Dendang dan Gantung. Tahun 1852 Belitung dipisahkan dari Bangka dalam urusan administrasi dan kewenangan penambangan timah. Pemisahan tersebut atas desakan JF. Louden (kepala pemerintahan pusat di Batavia),
untuk mencegah pengaruh buruk dari Residen Bangka yang iri melihat
pertambangan timah yang berkembang dengan pesat di Belitung. Dalam
rangkaian sistem pemerintahan Hindia Belanda,
pada tahun 1921 Belitung dijadikan sebuah distrik yang dikepalai oleh
seorang Demang yaitu KA. Abdul Adjis, yang dibantu 2 orang Asisten
Demang yang membawahi 2 onder district, yaitu Belitung Barat dan
Belitung Timur. Gemeente atau kelurahan di Belitung dibentuk pada tahun
1921-1924. Berdasarkan Ordonantie No. 73 tanggal 21 Februari 1924,
Belitung terbagi menjadi 42 Gemeente.
Pada tahun 1933, Belitung berubah status menjadi satu Onder-afdeling yang diperintah oleh seorang Controleur dengan pangkat Assistant Resident,
yang bertanggung jawab kepada Residen dari Afdeling Bangka - Belitung
yang berkedudukan di Pulau Bangka. Tanggal 1 Januari 1939 berlaku
peraturan baru di wilayah di wilayah Belitung, yang berarti Pulau
Belitung sudah diberi hak untuk mengatur daerahnya sendiri. Tentu saja
hal tersebut memengaruhi beberapa keadaan, misalnya Onder-afdeling
Belitung meliputi 2 distrik yaitu, Distrik Belitung Barat dan Distrik
Belitung Timur, yang masing-masing dikepalai oleh seorang Demang.
Tentara
Jepang menduduki Pulau Belitung pada bulan April 1944, pemerintahan
dikedua distrik dikepalai oleh Gunco. Pada awal tahun 1945, Jepang
membentuk Badan Kebaktian Rakyat di Belitung yang bertugas membantu
pemerintahan. Masa pendudukan Jepang tidak lama, selanjutnya terjadi perubahan kembali ketika tentara Belanda
kembali menguasai Belitung pada tahun 1946. Pada masa pemerintahan
Belanda ini, Onder-afdeling Belitung diperintah kembali oleh Asisten
Residen Bangsa Belanda, sedangkan penguasaan distrik tetap dipegang oleh
seorang Demang yang kemudian diganti dengan sebutan Bestuurhoofd.
b. Masa Kemerdekaan
Pulau
Belitung sebagai bagian dari Residensi Bangka - Belitung, beberapa
tahun lamanya pernah menjadi bagian dari Gewest Borneo, kemudian menjadi
bagian Gewest Bangka - Belitung dan Riau.
Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, karena muncul peraturan
yang mengubah Pulau Belitung menjadi Neolanchap. Selanjutnya sebagai
badan pemerintahan dibentuklah Dewan Belitung pada tahun 1947. Pada
waktu pembentukan Republik Indonesia Serikat
(RIS), Neolanchap Belitung merupakan negara tersendiri, bahkan karena
sesuatu hal tidak menjadi negara bagian. Tahun 1950 Belitung dipisahkan
dari RIS dan digabungkan dalam Republik Indonesia. Pulau Belitung menjadi sebuah kabupaten yang termasuk dalam Provinsi Sumatera Selatan
dibawah kekuasaan militer, karena pada waktu itu Sumatera Selatan
merupakan Daerah Militer Istimewa. Sesudah berakhirnya pemerintahan
militer, Belitung kembali menjadi kabupaten yang dikepalai oleh seorang
Bupati.
Pada
tanggal 21 November 2000, berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2000, Pulau Belitung bersama dengan Pulau Bangka memekarkan diri dan
membentuk satu provinsi baru dengan nama Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Ibu Kota Provinsi Kota Pangkalpinang.
Provinsi ini merupakan provinsi ke-31 di Indonesia. Berdasarkan
aspirasi masyarakat dan berbagai pertimbangan, Kabupaten Belitung dibagi
menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung beribukota di Tanjungpandan dengan cakupan wilayah meliputi 5 kecamatan dan Kabupaten Belitung Timur dengan beribukotakan Manggar dengan cakupan wilayah meliputi 4 kecamatan.
Saat sekarang Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur
sedang giat-giatnya membangun dengan berbagai fasilitas dan
infrasturuktur seiring dengan perkembangan zaman, sementara untuk
meningkatkan PADnya kedua kabupaten ini sedang gencar-gencarnya
membangun dan mempromosikan wisata pacsa tambang timah dengan mengelar
berbagai macam acara dan kegiatan baik setaraf local, regional, nasional
bahkan tingkat internasional untuk menarik wisatawan domestic dan
internasional untuk berkunjung ke Negeri Laskar Pelangi ini, di
antaranya Sail Wakatobi Belitung tahun 2011 yang dihadiri oleh Wakil
Presiden RI Bapak Prof. DR. Boediono, yang puncak acaranya dipusatkan di
Tanjungkelayang Beach.
Tanjungtinggi Beach in Belitong Island
Bahwa
untuk berkunjung ke Belitung saat ini infrasturuktur telah berjalan
pesat, seperti keberadaan bandara yang nyaman dengan 4 kali sehari
penerbangan ke Jakarta, 1 kali sehari ke Palembang dan 2 kali sehari ke
Pangkalpinang, sementara dengan kapal cepat Express Bahari ke Pulau
Bangka 1 kali sehari dapat ditempuh selama 4 jam, demikian juga
kendaraan operasional seperti Damri, jasa Travel dan ojeg selalu
tersedia. Sementara untuk penginapan dan hotel berbintang juga telah
banyak yang berdiri, seperti penginapan Wisama Adithia 4 km dari bandara
yang jika menginap bisa secara bulanan dan harian dengan harga
terjangkau.[3]
4. Akhir Pemerintahan Islam di Belitung.[4]
SEJAK
wafatnya KA Usman, roda pemerintah dijabat oleh anaknya yang bernama KA
Hatam yang bergelar Depati Cakraninggrat VII. Pada zamannya, KA Hatam
mendatangkan para penggali timah dari China di Johor lewat Tumasik.
SEPENINGGALAN
Cakraninggrat IV KA Bustam, pemerintahan Islam di Belitung jatuh ke
tangan anaknya bernama KA Abudin. KA Budin yang bergelar Depati
Cakraninggrat V memerintah dari tahun 1740-1755. Pada masa pemerintahan
KA Abudin, Balok mengalami kemunduran. Pemerintahannya kurang mendapat
simpati dari rakyat lantaran wataknya yang otoriter. Termasuk adiknya
yaitu KA Usman, menjauhi istana dan mendirikan pemukiman baru di Sungai
Cerucuk.
Sikap
masyarakat di kerajaan Balok terpecah menjadi dua hingga mereka yang
tidak puas dengan pemerintahan KA Abudin mengadu kepada KA Usman.
Karenanya, KA Usman meminta bantuan pada Sultan Palembang, pengaduan ini
membuat KA Abudin marah hingga pertentangan tak terhindarkan.
Perkelahian tak dapat ditawar, peristiwa ini dikenal dengan sebutan
begaris tanah tak ada yang kalah dalam peristiwa di tepi Sungai Berutak
ini. Namun utusan Palembang telah datang menjemput KA Abudin. KA Abudin
tidak diperkenankan pulang ke Belitung, ia menikah lagi di Palembang.
Keturunan KA Abubin hingga kini tetap menyandang gelar KA atau Ki Agus.
Raja ke V ini meninggal di Palembang dan dimakamkan di Pelayang dan
kekuasaan jatuh ke tangan KA Usman yang bergelar Depati Cakraningrat VI.
KA
Usman kemudian membagi wilayah kekuasaan kepada anak-anak KA Abudin
yang ditinggalkan. Yang tertua KA Rantie tetap mendiami Balok, KA Gunong
Kurung berdiam di Gunung Labu tempat asal neneknya Putri Gunong Labu.
KA Munti di beri wilayah di sekitar Gunung Petebu sekarang Parit Tebu
dan Nyi Ayu Muncar ikut tinggal ke salah seorang abangnya. Oleh KA
Usman, KA Munti yang kemudian dinikahkan dengan Nyi Ayu Busu yaitu anak
dari KA Usman sendiri. Perkawinan antar sepupu ini dimaksudkan agar
kedua keluarga yang dulu berseteru kini kembali dekat. Perkawinan itu
melahirkan KA Luso, NA Tenga, NA Kumal. KA Luso kemudian menurunkan KA
Jalil. Keluarga ini dikenal dengan sebutan bangsawan Gunong Petebu.
Kekuasaan Depati Cakraningrat VI KA Usman berakhir sekitar tahun 1885.
KA Usman wafat setelah armada perahunya diserang oleh bajak laut di
muara dekat Pulau Kalamoa. Mayatnya hingga kini tak diketemukan.
Sejak
wafatnya KA Usman, roda pemerintah dijabat oleh anaknya yang bernama KA
Hatam yang bergelar Depati Cakraninggrat VII. Pada zamannya, KA Hatam
mendatangkan para penggali timah dari China di Johor lewat Tumasik.
Hubungan dengan orang China ini, menyebabkan KA Hatam mengambil istri
kedua seorang China yang kemudian menjadi mukhalaf dengan gelar Dayang
Kuning. Tahun 1786, setelah Inggris menguasai Pulau Pinang dan
sekitarnya, perdagangan timah dari Belitung dihentikan oleh Depati
sendiri. Tahun 1813, Inggris oleh Sir Thomas Stamford Raffles
memerintahkan Jendral Gillespie menguasai Palembang dan Mayor W Robinson
meduduki Bangka kemudian mengutus Tengku Akil dari Siak guna menguasai
Belitung. Tengku Akil mendapat perlawanan, dalam peretempuran itu
Depati KA Hatam tewas dengan kepala terpotong. Anaknya yang masih
berusia muda, KA Rahad dan beberapa saudaranya yang lain berhasil
diselamatkan sepupunya KA Luso. KA Luso dan orang-orang berhasil
mengusir Tengku Akil hingga tengku Akil lari ke Pulau Lepar. Tahun
1821-1854, masa perjuangan dan pemrintahan Depati Cakraninggrat VIII, KA
Rahad. Masa-masa ini pemerintah Hindia Belanda terus berupaya untuk
menguasi Belitung dan mencari bijih timah.
Sekitar
tanggal 21 Oktober 1821, datanglah Syarif Mohamad dari Palembang guna
membuka jalan bagi masuknya Belanda ke Belitung dan mengibarkan untuk
pertama kali bendera Belanda di Tanjung Simba. Syarif Mohamad mencoba
menguasai kedudukan Depati KA Rahad yang masih berusia muda, tapi upaya
itu tak berhasil. Di zamannya, KA Rahad membagi wilayah Belitung menjadi
enam distrik yang sebelumnya baru ada empat ngabehi. KA Rahad
menggunakan istilah distrik untuk mengganti istilah ngabehi karena
Belanda mulai mendata wilayah itu dengan menulis dan menyebutkan kata
distrik untuk wilayah ngabehi. Enam distrik baru itu adalah
Tanjungpandan dan Lenggang. Kedua distrik ini tidak dipimpin oleh ngabei
tapi langsung oleh keluarga raja, Disrik Tanjungpandan dipimpin oleh KA
Mohamad Saleh, sedangkan Distrik Lenggang oleh KA Luso. Tahun 1854
Depati KA Rahad meninggal dunia, dimakamkan di Air Labu Kembiri. Sejak
saat itu KA Mohamad Saleh (adik KA Rahad) diangkat menjadi Depati
Cakraningrat IX, sekaligus raja Islam terakhir yang berkuasa di
Belitung. Ia meninggal dunia pada tahun 1876 dan dimakamkan dekat makam
ramondanya KA Rahad di Cerucuk. Priode berikutnya, Belitung dikuasai
oleh Belanda, gelar depati dihapus dan diganti dengan kepala distrik.
Penghapusan jabatan depati ini sekaligus mengakhiri priodeisasi
pemerintahan Islam di Belitung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar