Social Icons

Rabu, 07 Mei 2014

SEJARAH BELITUNG DAN BERAKHIRNYA KERAJAAN ISLAM DI BELITUNG

Sejarah Belitung dan Berakhirnya Kerajaan Islam di Belitung

SEJARAH BELITUNG DAN BERAKHIRNYA KERAJAAN ISLAM DI BELITUNG
Oleh
Al Fitri Johar Chaniago, S.Ag., SH., M.HI
(Hakim Pratama Madya Pengadilan Agama Tanjungpandan)
1.      Gambaran Singkat Belitung.[1]
Belitung, atau Belitong (bahasa setempat, diambil dari nama sejenis siput laut), dulunya dikenal sebagai Billiton adalah sebuah pulau di lepas pantai timur Sumatra, Indonesia, diapit oleh Selat Gaspar dan Selat Karimata. Pulau ini terkenal dengan lada putih (Piper sp.) yang dalam bahasa setempat disebut sahang, dan bahan tambang tipe galian-C seperti timah putih (Stannuum), pasir kuarsa, tanah liat putih (kaolin), dan granit. Serta akhir-akhir ini menjadi tujuan wisata alam alternatif. Pulau ini dahulu dimiliki Britania Raya (1812), sebelum akhirnya ditukar kepada Belanda, bersama-sama Bengkulu, dengan Singapura dan New Amsterdam (sekarang bagian kota New York). Kota utamanya adalah Tanjung Pandan.
Pulau Belitung terbagi menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung, beribukota di Tanjung Pandan, dan Belitung Timur, beribukota Manggar.Sebagaian besar penduduknya, terutama yang tinggal di kawasan pesisir pantai, sangat akrab dengan kehidupan bahari yang kaya dengan hasil ikan laut. Berbagai olahan makanan yang berbahan ikan menjadi makanan sehari-hari penduduknya. Kekayaan laut menjadi salah satu sumber mata pencaharian penduduk Belitung. Sumber daya alam yang tak kalah penting bagi kehidupan masyarakat Belitung adalah timah. Usaha pertambangan timah sudah dimulai sejak zaman Hindia Belanda.Penduduk Pulau Belitung terutama adalah suku Melayu (bertutur dengan dialek Belitung) dan keturunan Tionghoa Hokkien dan Hakka.
Secara geografis pulau Belitung (Melayu ; Belitong) terletak pada 107°31,5' - 108°18' Bujur Timur dan 2°31,5'-3°6,5' Lintang Selatan. Secara keseluruhan luas pulau Belitung mencapai 4.800 km² atau 480.010 ha.Pulau Belitung disebelah utara dibatasi oleh Laut Cina Selatan, sebelah timur berbatasan dengan selat Karimata, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah barat berbatasan dengan selat Gaspar. Di sekitar pulau ini terdapat pulau-pulau kecil seperti Pulau Mendanau, Kalimambang, Gresik, Seliu dan lain-lain.

2.      Sejarah Belitung

Belitung merupakan kepulauan yang mengalami beberapa pemerintahan raja-raja. Pada akhir abad ke-7, Belitung tercatat sebagai wilayah Kerajaan Sriwijaya, kemudian ketika Kerajaan Majapahit mulai berjaya pada tahun 1365, pulau ini menjadi salah satu benteng pertahanan laut kerajaan tersebut. Baru pada abad ke-15, Belitung mendapat hak-hak pemerintahannya. Tetapi itupun tidak lama, karena ketika Palembang diperintah oleh Cakradiningrat II, pulau ini segera menjadi taklukan Palembang. Sejak abad ke-15 di Belitung telah berdiri sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Badau dengan Datuk Mayang Geresik sebagai raja pertama. Pusat pemerintahannya terletak di sekitar daerah Pelulusan sekarang ini. Wilayah kekuasaaannya meliputi daerah Badau, Ibul, Bange, Bentaian, Simpang Tiga, hingga ke Buding, Manggar dan Gantung. Beberapa peninggalan sejarah yang menunjukkan sisa-sisa kerajaan Badau, berupa tombak berlok 13, keris, pedang, gong, kelinang, dan garu rasul. Peninggalan-peninggalan tersebut dapat ditemui di Museum Badau.[2] 
Peta Pulau Belitung
Kerajaan kedua adalah Kerajaan Balok. Raja pertamanya berasal dari keturunan bangsawaan Jawa dari Kerajaan Mataram Islam bernama Kiai Agus Masud atau Kiai Agus Gedeh Ja'kub, yang bergelar Depati Cakraningrat I dan memerintah dari tahun 1618-1661. Selanjutnya pemerintahan dijalankan oleh Kiai Agus Mending atau Depati Cakraningrat II (1661-1696), yang memindahkan pusat kerajaan dari Balok Lama ke suatu daerah yang kemudian dikenal dengan nama Balok Baru. Selanjutnya pemerintahan dipegang oleh Kiai Agus Gending yang bergelar Depati Cakraningrat III. Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat III ini, Belitung dibagi menjadi 4 Ngabehi, yaitu :
1.      Ngabehi Badau dengan gelar Ngabehi Tanah Juda atau Singa Juda;
2.      Ngabehi Sijuk dengan gelar Ngabehi Mangsa Juda atau Krama Juda;
3.      Ngabehi Buding dengan gelar Ngabehi Istana Juda.
Masing-masing Ngabehi ini pada akhirnya menurunkan raja-raja yang seterusnya lepas dari Kerajaan Balok. Pada tahun 1700 Depati Cakraningrat III wafat lalu digantikan oleh Kiai Agus Bustam (Depati Cakraningrat IV). Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat IV ini, agama Islam mulai tersebar di Pulau Belitung. Gelar Depati Cakraningrat hanya dipakai sampai dengan raja Balok yang ke-9, yaitu Kiai Agus Mohammad Saleh (bergelar Depati Cakraningrat IX), karena pada tahun 1873 gelar tersebut dihapus oleh Pemerintah Belanda. Keturunan raja Balok selanjutnya yaitu Kiai Agus Endek (memerintah 1879-1890) berpangkat sebagai Kepala Distrik Belitung dan berkedudukan di Tanjungpandan. Kerajaan ketiga adalah Kerajaan Belantu, yang merupakan bagian wilayah Ngabehi Kerajaan Balok. Rajanya yang pertama adalah Datuk Ahmad (1705-1741), yang bergelar Datuk Mempawah. Sedangkan rajanya yang terakhir bernama KA. Umar. Kerajaan keempat atau yang terakhir yang pernah berdiri adalah Kerajaan Buding, yang merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Balok. Rajanya bernama Datuk Kemiring Wali Raib. Dari keempat kerajaan yang telah disebutkan diatas, Kerajaan Balok merupakan kerajaan terbesar yang pernah ada di Pulau Belitung.
a.      Masa Pendudukan Belanda dan Jepang.
Pertambangan tungsten dan timah yang dikelola Perusahaan Billiton Maatschapij di Belitung (1942). Pada abad ke-17, Pulau Belitung menjadi jalur perdagangan dan tempat persinggahan kaum pedagang. Dari sekian banyak pedagang, yang paling berpengaruh adalah pedagang Cina dan Arab. Hal ini dapat dibuktikan dari tembikar-tembikar yang berasal dari Wangsa Ming abad ke-14 hingga ke-17, yang banyak ditemukan dalam lapisan-lapisan tambang timah di daerah Kepenai, Buding, dan Kelapa Kampit. Berdasarkan catatan dari sejarawan Cina bernama Fei Hsin (1436). Sedangkan orang Cina mengenal Belitung disebabkan pada tahun 1293, pedagang-pedagang Cina tersebut masuk ke Pulau Belitung sekitar tahun 1293. Sebuah armada Cina dibawah pimpinan Shi Pi, Ike Mise dan Khau Hsing yang sedang mengadakan perjalanan ke Pulau Jawa terdampar di perairan Belitung.
Selain bangsa Cina, bangsa lain yang banyak mengenal Pulau Belitung adalah bangsa Belanda. Pada tahun 1668, sebuah kapal Belanda bernama 'Zon De Zan Loper', dibawah pimpinan Jan De Marde, tiba di Belitung. Mereka merapat di sungai Balok, yang saat itu merupakan satu-satunya bandar di Pulau Belitung yang ramai dikunjungi pedagang asing.  Berdasarkan penyerahan Tuntang pada tanggal 18 September 1821, Pulau Belitung masuk dalam wilayah kekuasaan Inggris (meskipun secara de facto terjadi pada tanggal 20 Mei 1812). Residen Inggris di Bangka, mengangkat seorang raja siak untuk memerintah Belitung karena di pulau kecil ini sering terjadi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh tetua adat. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Kerajaan Inggris tanggal 17 April 1817, Inggris menyerahkan Belitung kepada Kerajaan Belanda. Selanjutnya atas nama Baginda Ratu Belanda, ditunjuk seorang Asisten Residen untuk menjalankan pemerintahan di Pulau Belitung.
Pada tahun 1823, seorang Kapten berkebangsaan Belgia bernama JP. De La Motte, yang menjabat sebagai Asisten Residen dan juga pimpinan tentara Kerajaan Belanda, berhasil menemukan timah di pulau tersebut. Selanjutnya seusai Traktat London tahun 1850, penambangannya diambil alih oleh Billiton Maatschapij, sebuah perusahaan penambangan timah milik Pemerintah Belanda. Pada saat itu Belitung terbagi atas 6 daerah, yaitu :
1.       Tanjungpandan dan Gantung/Lenggang yang berada langsung dibawah pemerintahan Depati;
2.       Badau, Sijuk, Buding dan Belantu yang berada dibawah pemerintahan masing-masing Ngabehi.
Pada tahun 1890, pangkat Ngabehi dihapus dan digantikan dengan Kepala Distrik. Selanjutnya terdapat 5 distrik yaitu : Tanjungpandaan, Manggar, Buding, Dendang dan Gantung. Tahun 1852 Belitung dipisahkan dari Bangka dalam urusan administrasi dan kewenangan penambangan timah. Pemisahan tersebut atas desakan JF. Louden (kepala pemerintahan pusat di Batavia), untuk mencegah pengaruh buruk dari Residen Bangka yang iri melihat pertambangan timah yang berkembang dengan pesat di Belitung. Dalam rangkaian sistem pemerintahan Hindia Belanda, pada tahun 1921 Belitung dijadikan sebuah distrik yang dikepalai oleh seorang Demang yaitu KA. Abdul Adjis, yang dibantu 2 orang Asisten Demang yang membawahi 2 onder district, yaitu Belitung Barat dan Belitung Timur. Gemeente atau kelurahan di Belitung dibentuk pada tahun 1921-1924. Berdasarkan Ordonantie No. 73 tanggal 21 Februari 1924, Belitung terbagi menjadi 42 Gemeente.
Pada tahun 1933, Belitung berubah status menjadi satu Onder-afdeling yang diperintah oleh seorang Controleur dengan pangkat Assistant Resident, yang bertanggung jawab kepada Residen dari Afdeling Bangka - Belitung yang berkedudukan di Pulau Bangka. Tanggal 1 Januari 1939 berlaku peraturan baru di wilayah di wilayah Belitung, yang berarti Pulau Belitung sudah diberi hak untuk mengatur daerahnya sendiri. Tentu saja hal tersebut memengaruhi beberapa keadaan, misalnya Onder-afdeling Belitung meliputi 2 distrik yaitu, Distrik Belitung Barat dan Distrik Belitung Timur, yang masing-masing dikepalai oleh seorang Demang.
Tentara Jepang menduduki Pulau Belitung pada bulan April 1944, pemerintahan dikedua distrik dikepalai oleh Gunco. Pada awal tahun 1945, Jepang membentuk Badan Kebaktian Rakyat di Belitung yang bertugas membantu pemerintahan. Masa pendudukan Jepang tidak lama, selanjutnya terjadi perubahan kembali ketika tentara Belanda kembali menguasai Belitung pada tahun 1946. Pada masa pemerintahan Belanda ini, Onder-afdeling Belitung diperintah kembali oleh Asisten Residen Bangsa Belanda, sedangkan penguasaan distrik tetap dipegang oleh seorang Demang yang kemudian diganti dengan sebutan Bestuurhoofd.
b.      Masa Kemerdekaan
Pulau Belitung sebagai bagian dari Residensi Bangka - Belitung, beberapa tahun lamanya pernah menjadi bagian dari Gewest Borneo, kemudian menjadi bagian Gewest Bangka - Belitung dan Riau. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, karena muncul peraturan yang mengubah Pulau Belitung menjadi Neolanchap. Selanjutnya sebagai badan pemerintahan dibentuklah Dewan Belitung pada tahun 1947. Pada waktu pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), Neolanchap Belitung merupakan negara tersendiri, bahkan karena sesuatu hal tidak menjadi negara bagian. Tahun 1950 Belitung dipisahkan dari RIS dan digabungkan dalam Republik Indonesia. Pulau Belitung menjadi sebuah kabupaten yang termasuk dalam Provinsi Sumatera Selatan dibawah kekuasaan militer, karena pada waktu itu Sumatera Selatan merupakan Daerah Militer Istimewa. Sesudah berakhirnya pemerintahan militer, Belitung kembali menjadi kabupaten yang dikepalai oleh seorang Bupati.
Pada tanggal 21 November 2000, berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000, Pulau Belitung bersama dengan Pulau Bangka memekarkan diri dan membentuk satu provinsi baru dengan nama Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Ibu Kota Provinsi Kota Pangkalpinang. Provinsi ini merupakan provinsi ke-31 di Indonesia. Berdasarkan aspirasi masyarakat dan berbagai pertimbangan, Kabupaten Belitung dibagi menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung beribukota di Tanjungpandan dengan cakupan wilayah meliputi 5 kecamatan dan Kabupaten Belitung Timur dengan beribukotakan Manggar dengan cakupan wilayah meliputi 4 kecamatan.
Saat sekarang  Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur sedang giat-giatnya membangun dengan berbagai fasilitas dan infrasturuktur seiring dengan perkembangan zaman, sementara untuk meningkatkan PADnya kedua kabupaten ini sedang gencar-gencarnya membangun dan mempromosikan wisata pacsa tambang timah dengan mengelar berbagai macam acara dan kegiatan baik setaraf local, regional, nasional bahkan tingkat internasional untuk menarik wisatawan domestic dan internasional untuk berkunjung ke Negeri Laskar Pelangi ini, di antaranya Sail Wakatobi Belitung tahun 2011 yang dihadiri oleh Wakil Presiden RI Bapak Prof. DR. Boediono, yang puncak acaranya dipusatkan di Tanjungkelayang Beach.
 Tanjungtinggi Beach in Belitong Island
Bahwa untuk berkunjung ke Belitung saat ini infrasturuktur telah berjalan pesat, seperti keberadaan bandara yang nyaman dengan 4 kali sehari penerbangan ke Jakarta, 1 kali sehari ke Palembang dan 2 kali sehari ke Pangkalpinang, sementara dengan kapal cepat Express Bahari ke Pulau Bangka 1 kali sehari dapat ditempuh selama 4 jam, demikian juga kendaraan operasional seperti Damri, jasa Travel dan ojeg selalu tersedia. Sementara untuk penginapan dan hotel berbintang juga telah banyak yang berdiri, seperti penginapan Wisama Adithia 4 km dari bandara yang jika menginap bisa secara bulanan dan harian dengan harga terjangkau.[3]
4.      Akhir Pemerintahan Islam di Belitung.[4]
SEJAK wafatnya KA Usman, roda pemerintah dijabat oleh anaknya yang bernama KA Hatam yang bergelar Depati Cakraninggrat VII. Pada zamannya, KA Hatam mendatangkan para penggali timah dari China di Johor lewat Tumasik.
SEPENINGGALAN Cakraninggrat IV KA Bustam, pemerintahan Islam di Belitung jatuh ke tangan anaknya bernama KA Abudin. KA Budin yang bergelar Depati Cakraninggrat V memerintah dari tahun 1740-1755. Pada masa pemerintahan KA Abudin, Balok mengalami kemunduran.  Pemerintahannya kurang mendapat simpati dari rakyat lantaran wataknya yang otoriter. Termasuk adiknya yaitu KA Usman, menjauhi istana dan mendirikan pemukiman baru di Sungai Cerucuk.
Sikap masyarakat di kerajaan Balok terpecah menjadi dua hingga mereka yang tidak puas dengan pemerintahan KA Abudin mengadu kepada KA Usman. Karenanya, KA Usman meminta bantuan pada Sultan Palembang, pengaduan ini membuat KA Abudin marah hingga  pertentangan tak terhindarkan. Perkelahian tak dapat ditawar, peristiwa ini dikenal dengan sebutan begaris tanah tak ada yang kalah dalam peristiwa di tepi Sungai Berutak ini. Namun utusan Palembang telah datang menjemput KA Abudin. KA Abudin tidak diperkenankan pulang ke Belitung, ia menikah lagi di Palembang. Keturunan KA Abubin hingga kini tetap menyandang gelar KA atau Ki Agus. Raja ke V ini meninggal di Palembang dan dimakamkan di Pelayang dan kekuasaan jatuh ke tangan KA Usman yang bergelar Depati Cakraningrat VI.
KA Usman kemudian membagi wilayah kekuasaan kepada anak-anak KA Abudin yang ditinggalkan. Yang tertua KA Rantie tetap mendiami Balok, KA Gunong Kurung berdiam di Gunung Labu tempat asal neneknya Putri Gunong Labu. KA Munti di beri wilayah di sekitar Gunung Petebu sekarang Parit Tebu dan Nyi Ayu Muncar ikut tinggal ke salah seorang abangnya.  Oleh KA Usman, KA Munti yang kemudian dinikahkan dengan Nyi Ayu Busu yaitu anak dari KA Usman sendiri. Perkawinan antar sepupu ini dimaksudkan agar kedua keluarga yang dulu berseteru kini kembali dekat. Perkawinan itu melahirkan KA Luso, NA Tenga, NA Kumal. KA Luso kemudian menurunkan KA Jalil. Keluarga ini dikenal dengan sebutan bangsawan Gunong Petebu. Kekuasaan Depati Cakraningrat VI KA Usman berakhir sekitar tahun 1885. KA Usman wafat setelah armada perahunya diserang oleh bajak laut di muara dekat Pulau Kalamoa. Mayatnya hingga kini tak diketemukan.
Sejak wafatnya KA Usman, roda pemerintah dijabat oleh anaknya yang bernama KA Hatam yang bergelar Depati Cakraninggrat VII. Pada zamannya, KA Hatam mendatangkan para penggali timah dari China di Johor lewat Tumasik. Hubungan dengan orang China ini, menyebabkan KA Hatam mengambil istri kedua seorang China yang kemudian menjadi mukhalaf  dengan gelar Dayang Kuning. Tahun 1786, setelah Inggris menguasai Pulau Pinang dan sekitarnya, perdagangan timah dari Belitung dihentikan oleh Depati sendiri. Tahun 1813, Inggris oleh Sir Thomas Stamford Raffles memerintahkan Jendral Gillespie menguasai Palembang dan Mayor W Robinson meduduki  Bangka kemudian mengutus Tengku Akil dari Siak guna menguasai Belitung. Tengku Akil mendapat perlawanan, dalam peretempuran itu Depati KA Hatam tewas dengan kepala terpotong. Anaknya yang masih berusia muda,  KA Rahad dan beberapa saudaranya yang lain berhasil diselamatkan sepupunya KA Luso. KA Luso dan orang-orang berhasil mengusir Tengku Akil hingga tengku Akil lari ke Pulau Lepar. Tahun 1821-1854, masa perjuangan dan pemrintahan Depati Cakraninggrat VIII, KA Rahad. Masa-masa ini pemerintah Hindia Belanda terus berupaya untuk menguasi Belitung dan mencari bijih timah.
Sekitar tanggal 21 Oktober 1821, datanglah Syarif Mohamad dari Palembang guna membuka jalan bagi masuknya Belanda ke Belitung dan mengibarkan untuk pertama kali bendera Belanda di Tanjung Simba. Syarif Mohamad mencoba menguasai kedudukan Depati KA Rahad yang masih berusia muda, tapi upaya itu tak berhasil. Di zamannya, KA Rahad membagi wilayah Belitung menjadi enam distrik yang sebelumnya baru ada empat ngabehi. KA Rahad menggunakan istilah distrik untuk mengganti istilah ngabehi karena Belanda mulai mendata wilayah itu dengan menulis dan menyebutkan kata distrik untuk wilayah ngabehi. Enam distrik baru itu adalah Tanjungpandan dan Lenggang. Kedua distrik ini tidak dipimpin oleh ngabei tapi langsung oleh keluarga raja, Disrik Tanjungpandan dipimpin oleh KA Mohamad Saleh, sedangkan Distrik Lenggang oleh KA Luso. Tahun 1854 Depati KA Rahad meninggal dunia, dimakamkan di Air Labu Kembiri. Sejak saat itu KA Mohamad Saleh (adik KA Rahad) diangkat menjadi Depati Cakraningrat IX, sekaligus raja Islam terakhir yang berkuasa di Belitung. Ia meninggal dunia pada tahun  1876 dan dimakamkan dekat makam ramondanya KA Rahad di Cerucuk. Priode berikutnya, Belitung dikuasai oleh Belanda, gelar depati dihapus dan diganti dengan kepala distrik. Penghapusan jabatan depati ini sekaligus mengakhiri priodeisasi pemerintahan Islam di Belitung.

Tidak ada komentar:

 
Blogger Templates