Dipelataran kaki lima itu berserakan
daun kering yang retak.
Seperti musim gugur, ranting pohon
merangas dan kesepian.
Tak ada tunas baru yang hijau, rapuh seperti sesunguk isak.
Hanya sengat mentari, melepuhkan
kulit dengan kepenatan.
Beberapa musim lalu, pernah
ada satu musim hangat.
Pelataran itu penuh semerbak liuk pinggul bunga mekar.
Aku memintanya menetap, dan sungguh kau merapat.
Lau musim berganti warna
menjadi hingar-bingar makar.
Sesekali kuterbangkan ingatanku pada
musim penghujannya.
Menyesali seribu bercak embun, berbarah dan marah diputiknya.
Sesekali kukunjungi, menabur bunga
perkabungan dipusaranya.
Pelataran impian itu hanya
menyisakan nisan tragedi aku dan dia.
Aku enggan mengakui aku terseok
mengejar jingga dicakrawala.
Memburu satu titik pertemuan malam
dengan dinginnya.
Aku masih ingin memburu kesadaran
yang bukan abu-abu.
Tetap, dan menetap disatu waktu yang
tak berpola tanpa ragu.
Akulah pemburu jingga dari
sudut-sudut pelataran kaki lima itu.
Akulah pemburu Jingga yang tak pernah
akan meragu.
Akulah Pengumpul daun-daun berserakan
dari waktumu.
Akulah juga yang akan membukakan
pintu pulangmu!